Kata.
"Semua itu berawal dari perkataan. Apapun yang kita lakukan haruslah dipikirkan dan tidak boleh menyakiti hati orang lain. Kasus yang di Bandung, dia tidak mengambil harta dan mencuri mobil yang dipakai untuk membunuh. Dia hanya melakukan apa yang membuatnya bahagia yaitu menyiksa dengan cara yang membuat hatinya puas"
Aku tersenyum. Tersenyum cukup lama tanda mengiyakan dan mendengarkan
"Kamu juga harus hati-hati ya, kalau naik angkot dimarahi karna uangnya kurang jangan menghardik, atau jika kamu pulang larut dan digoda pria-pria nakal di ujung gang gelap kamu harus menjaga lisan supaya tidak disekap orang. Dari 12 lapas di Indonesia yang telah saya temui, polanya selalu sama. Dan kasus ini juga harusnya jadi pelajaran. Haha jangan sampai nanti ada berita wanita dibunuh karena bayar angkot kurang dalam koran. Ha ha ha.."
Aku tersenyum lagi dan mengangguk diam.
Cukup lama dalam pikiranku memutar potongan kata yang ingin aku dengar dan simpan. Perkataan, hati-hati, jangan, dan suara renyah tawa yang kamu ucap. Kamu benar, perkataan bisa membawa pada reaksi perbuatan. Entah itu baik atau menjadi buruk.
Dalam kasusku, aku tidak tau. Aku selalu menganggap perkataanmu selalu benar dan selalu meyakinkan. Aku selalu yakin bahwa kekhawatiranmu adalah perhatian yang lebih namun porsinya pas. Kamu seperti lampion waisak yang ditumbuhi harapan. Begitu banyak yang bisa ditulis. Begitu kaya dengan waktu yang ditunggu.
Percakapan itu berlangsung panjang. Hingga hujan mereda, dan kita terdiam dalam hening yang panjang. Dan saling bertatapan.
Kamu benar. Benar kamu.
(ADA)
Kisah ini merupakan kelanjutan dari Pertanyaan., Silaturahmi., dan Lampion.