Secangkir Kopi, Sebatang Rokok, dan Sebait Kisah

Coffee Shop (II)

Hal paling menyakitkan dapat dilakukan oleh orang yang paling kau sayangi. Semua orang menyetujui pernyataan tersebut. Termasuk aku. Terutama aku.

Hari ini aku berdiri di depan sebuah coffee shop. Aku tahu kalian akan bertemu di sini sore ini. Aku berada di sini dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah kita. Untuk menuntaskan luka yang sudah kita buat pada satu sama lain.

Aku melangkah masuk. Kupesan secangkir espresso. Aku membutuhkan sesuatu yang pahit, yang bagaimanapun tidak akan lebih pahit dari yang akan kita hadapi setelah ini.

Aku melihatnya duduk membelakangi arah kedatanganku. Kusentuh pundaknya seraya mengambil duduk di hadapannya. Dia terlihat kaget karena aku tidak seharusnya berada di sini. Aku berusaha setenang mungkin dan membiarkan kesunyian menyelimuti kami. Satu menit. Lima menit. Delapan menit. Tigabelas menit. Barista datang membawakan espresso-ku.

Kubaui aroma yang merebak. Tidak ada yang lebih menyegarkan dari aroma kopi panas. Untuk kali ini, aromanya menyegarkan tetapi tidak menenangkan sama sekali.

Kutatap dia yang di hadapanku duduk dengan canggung, dengan bahu terlalu tegang. Kamu mengapa belum datang juga? Karena itu kamu. Ya, aku sudah terlampau mengenalmu. Kuteguk espresso sedikit. Pahitnya menusuk lidah.

"Apa kabar?" tanyaku. Entah kepadanya atau lebih kepada diriku sendiri.

Dia tidak menjawab, masih menunduk memandangi ibu jarinya yang saling beradu. Juga masih dengan bahu yang terlalu tegang. Dia yang biasanya tidak pernah berhenti bicara saat kami bersama.

"Sudah lama, ya, sejak terakhir kali kita duduk berhadapan menikmati secangkir espresso untukku dan segelas mocca frape untukmu, seperti sekarang ini. Aku sempat merindukanmu. Merindukan berbagi kisah denganmu"

Hening. Aku menolak menatapnya, aku memilih menatap refleksi diriku di atas pekatnya espresso.

"Tak adakah kisah yang ingin kau bagi?"

Hening.

"Mulai hujan. Artinya dia akan lebih terlambat lagi"

Hening.

Kutatap butiran air hujan yang mengalir perlahan di jendela.

Kuhembuskan napas diam-diam.

"Kenapa kalian memilih untuk menyiksa diri? Kenapa tidak katakan saja yang sebenarnya? Aku menunggu, sampai kapan kalian akan bertahan. Tapi ternyata aku yang tidak mampu bertahan.
Kalau kalian jujur, tidak ada yang harus terluka dalam. Tidak perlu berlama-lama menyiksa diri. Tidak perlu bersembunyi-sembunyi. Kalian cukup jujur, aku akan merelakan. Bukan karena aku tidak menyayanginya lagi, tetapi karena akupun tak kuasa mempertahankan seseorang yang tidak ingin dipertahankan. Di lain sisi, karena dia memilihmu. Aku akan rela. Karena yang ia pilih untuk menggantikanku adalah kamu.
Aku mengenalmu dengan baik. Kau gadis yang baik. Dia akan menjadi sosok yang lebih baik jika bersamamu. Dan aku juga akan lebih lega melepasnya untuk bersamamu. Tidak ada yang perlu kukhawatirkan"

Kubakar sebatang rokok dan menghisapnya perlahan tanpa sedikitpun menatapnya. Aku masih menatap kosong butiran air hujan di jendela kafe.

Tiba-tiba sesuatu yang hangat mengalir di pipiku. Kuharap dia mengetahui, ini bukan air mata kesedihan, melainkan kelegaan. Tapi, entahlah akupun ragu air mata apa ini.

Tanpa kata dia menyergap kedua tanganku dan menggenggamnya erat. Genggaman erat yang sudah sangat kuhapal. Genggaman yang selalu kuartikan sebagai caranya untuk menenangkanku.

Kami bergeming. Air mataku tak terbendung, mengalir di kedua pipiku.

Sebuah suara yang juga sudah kuhapal memanggil namaku dengan nada terkejut. Kuhapus air mataku dan menoleh. Kamu di sana. Berdiri mematung, jarak satu meter dari meja kami.

Aku memandangmu sebelum akhirnya memutuskan untuk bangkit dan menghampirimu.

"Mengapa tidak kau katakan saja sejak awal? Sehingga tidak ada yang perlu terluka terlalu lama. Karena aku akan merelakanmu. Kita dua manusia dewasa, kita pasti mampu menyelesaikannya dengan terbuka tanpa amarah"

Kau menatapku dengan penuh rasa bersalah. Aku benci ditatap seperti itu.

Kuusap butiran air hujan di rambutmu. Ada perasaan yang menyeruak kuat. Aku sangat menyukai mengusap rambutmu, memainkan jemariku di antara helai rambutmu.

Kukuatkan diriku untuk memelukmu, pelukan terakhir.

"Terima kasih untuk semuanya. Aku titip sahabatku, ya. Aku yakin kalian akan berbahagia bersama," bisikku di telingamu.

Aku tatap matamu sedalam mungkin, tatapan terakhir.

"Kau tahu aku akan selalu menyayangimu," ucapku seraya mengecup lembut pipimu, kecupan terakhir.

"Sampai jumpa," ucapku seraya melepaskan genggamanku.

Dan berjalan meninggalkan kafe. Meninggalkan espresso yang masih tersisa seperempat dan rokok yang masih menyala setengah. Meninggalkan kalian berdua.

Semoga kita berjumpa lagi dalam keadaan yang lebih baik.


LA.