Lampion.
Kuputuskan untuk kembali mengingat lampion yang mestinya berpendar mengangkasa di bulan Mei lalu, kuputuskan untuk kembali menguatkan ingatan tentang apa yang menjadi harapan yang sengaja kutulis untuk membiarkanmu bahagia. Kuharus mengingat secara perlahan bagaimana lampion haruslah melangit dan memberi cahaya dan berarti untuk orang banyak. Supaya pergi dan meringankan beban yang ada di bumi. Lalu kembali melangkah.
Kuputuskan kembali untuk berjalan lurus dan duduk di poros. Untuk lebih mudah menuju ke lorong. Kamu tahu, hidup bisa saja berjalan seperti lorong yang panjang, bisa lurus, berliku dan memutar. Namun lorong tetsebut tetap dapat menemukan ujungnya.
Sayangku, atau siapapun kamu yang belum bisa kupanggil sayang.. aku mengagumimu sementara kamu terus berpendar. Aku membiarkanmu terbang seperti semestinya. Mendoakanmu untuk berada diujung pelaminan. Merelakanmu seikhlas mungkin semampu aku bisa. Karna pada akhirnya, aku memang tidak bisa berbuat apa-apa.
Kuputuskan kembali untuk mengenal diriku sendiri. Merindukan diri yang dahulu, terlalu lama melihat lampion membuat diri ini lupa sejauh mana telah menjejak, sedamai apa rasa dalam satu tarikan nafas, bagaimana rasanya mencintai hidup secara lebih berirama. Aku terlalu lama lupa dan meninggalkan aku sebelum mengenalmu.
Ananda tersayang, jika kamu melihat senja.. itu aku, dan hatiku yang kutitipkan disana..
Selamat mengangkasa..
(ADA)
Kisah ini berkaitang dengan Pertanyaan., Silaturahmi., dan Kata.