Warna Memori

Aku cek jam dipergelangan tanganku. Pukul 06.15, sudah saatnya berbuka puasa. Aku terlambat di tempat berkumpul. Bukan perkumpulan spesial sebenarnya, hanya sebuah perkumpulan dengan teman-teman lama. Termasuk dengan gadis itu, gadis yang pernah kupinta hatinya. Salah, gadis yang pernah kuberikan hatiku padanya. Apakah Ia akan datang?

Sesampainya di sana mudah saja menemukan gerombolan itu dan menemukan dia, yang memilih duduk di meja kecil tengah, di luar gerombolan tertentu, dia yang seketika menunduk saat melihatku datang. Aku menelan senyum geli melihat tingkahnya. Bodoh, lain kali setidaknya berusahalah untuk tidak terlalu terlihat jika melakukan itu lagi ya.

Aku ingin duduk di sampingnya, di hadapannya, di dekatnya untuk menanyakan kabar hati yang pernah kuberikan. Saat itu ia menolak pemberianku dengan alasan pendidikan. Bodoh dan klise. Tapi, itu yang kukagumi darinya. Ia dan ambisinya pada pendidikan.
Aku ingin duduk di sampingnya, di hadapannya, di dekatnya, tapi aku sadar diri. Saat ini aku sedang memiliki hati seseorang.

Jadi, aku memilih bergabung dengan gerombolan lelaki, berjarak darinya.

Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya dari ujung mataku. Aku menyadari sesuatu. Dia dengan jilbab merah marunnya dan aku dengan kemeja merah marunku. Aku punya warna untuk memoriku tentangnya kali ini: merah marun.


Counter part kisah Merah Marun.


LA.