Perkara Hati.
Banyak yang bilang bahwa cinta itu bukan sekedar meminta kepemilikan hati orang tersebut. Bukan perkara menyatukan ego melainkan sebuah proses tak berkesudahan ketika hasrat cinta yg membara di awal dan harus terus terjaga panasnya. Cinta juga bukan sekedar kewajiban melapor sambil menceritakan sedu sedan dan bahagia dalam satu hari itu. Bukan pula seperti cerita ftv atau kisah-kisah yg ditulis pablo neruda dan kahlil gibran. Tidak pernah selamanya manis, puitis dan penuh dengan gombalan manja.
Ah! Tahu apa aku menyoal cinta. Aku hanya pernah sekali jatuh cinta dan rasanya sangat dalam. Sementara untuk mengambil contoh mungkin harus belajar banyak dari yang mengalami banyak cinta, meski hanya mampir di tepi.
Cinta itu muncul dari hal-hal sederhana. Dari kebiasaan yang membuat nyaman. Cinta itu selalu mengupayakan keberadaan, selalu hadir. Cinta juga mengupayakan kebahagiaan, mengesampingkan lelah yang dipunya. Dan berbagi. Berbagi untuk saling memberi dan memenuhi.
Kira-kira begitu.. pastinya aku tidak tahu.
Yang kutahu hari ini aku bertemu membuat janji dengannya. Tidak berdua. Tapi aku dengan orang tuaku dan dia dengan orang tuanya. Untuk bersama membantu. Sebelum fajar mengintip aku sudah di muka halaman rumahnya. Mengambil pak-pak kardus buku yang entah berapa banyak isi buku didalamnya. Semuanya dia bawa tanpa sisa. Dia pindahkan untuk rumah dia yang baru.
Aku masih ingat ketika peluh jatuh dari kening kepalanya. Mengucur deras dari kulitnya yang halus dan mulai ditumbuhi keriput halus. Aku penasaran sudah berapa banyak buku yang ia baca. Penasaran bagaimana ia selalu mencari relevansi teori dari pengalaman yang ia punya. Aku tahu dalam hal ini aku hanyalah adik kecilnya, yang bisa membantunya mendesain rumah mungilnya untuk disulap sebagian menjadi ruang perpustakaan. Iya, aku penasaran.
Siang itu, sambil merapikan buku yang mulai disusun, kubiarkan pembicaraan berkembang dari hal satu ke hal yang lain. Caranya menatap masih sama, caranya bercerita juga masih sama. Dan tanganku berhenti pada buku tersampul yang tertambat di mataku. "Ini buku pernikahan, belum di baca?" Ujarku penasaran. Ia menjawab bahwa itu akan menjadi hadiah. Untuk belajar membina rumah tangga
Ia bangkit berdiri, berjalan beberapa langkah yang membawanya pada satu buku bersampul. "Ini juga hadiah buat kamu. Biografi. Bagus isinya" aku diam tidak bereaksi apa. Aku tidak meminta buku. Aku hanya ingin ceritanya. "Mas tahun depan menikah dek. Doain aja ya lancar semuanya". Buku yang ditanganku mendadak jatuh, aku pukul mundur mengambilnya dan mengalihkan pandangan. Ini sudah kuduga, ini yang sudah dipersiapkan, ini jawaban dari doa. Atas nama kepatutan aku bangkit, mengambil buku dan menyeimbangkan senyum dengan sederet gigi. "Selamat ya" hanya itu, hanya itu yang bisa diucapkan.
Tidak. Ini tidak sesakit yang kubayangkan.
Aku terdiam sejenak di sudut rak kayu yang masih baru bau cat. Disudut ini nanti dihuni oleh mereka pasangan baru. Aku beruntung dapat berperan disini, menempelkan karyaku yang dapat diingat setidaknya sampai ia memutuskan untuk mendekor ulang. Akupun sudah cukup mengambil banyak dari sini. Belajar untuk menyalurkan ilmu keikhlasan, keseimbangan, kebahagiaan dan rasa rindu yang menggebu menjadi satu keutuhan. Aku belajar menerima, dan mencintai dengan baik. oke, dua kalimat terakhir tidak sepenuhnya benar!
Setidaknya aku masih punya daya.
Daya untuk berupaya tidak mengabulkan apa yang diminta hati. Daya untuk tahu diri. Bahwasanya yang fana adalah ketidakberdayaan untuk bangkit.
Danke banyak voor dorang. Tete manis sayang dorang senantiasa.. beta seng akan lupa dong pung sayang yang lebih dari cukup.
(ADA)
And I cried ...
ReplyDeleteDon't be..
Delete