Elegi


Aku duduk di sebuah bangku di pinggir jalan, di depan sebuah kafe. Seorang diri. Dua buah tiket konser ada di tanganku. Kita sepakat akan bertemu di kafe ini, lalu bersama-sama menuju lokasi konser. Aku gila atau terlalu bersemangat. Entahlah. Ini dua jam lebih awal dari waktu yang sudah ditentukan. Kuputuskan masuk ke kafe untuk secangkir macchiato dan sepotong pai apel. Kita pernah sepakat pai apel di kafe ini adalah yang terenak di penjuru kota. Pai yang hangat berpadu dengan es krim vanilla yang lembut. Hangat dan dinginnya berpadu sempurna di lidah.

Satu jam lima belas menit lewat sudah. Cangkirku sudah kosong. Pai apel-ku pun sudah meluncur seluruhnya ke mulut. 45 menit menuju waktu pertemuan kita. Jantungku berdebar. Tapi, untuk apa? Seingatku, kau tidak pernah tepat waktu. Setiap pertemuan selalu sama.

Dari kejauhan aku melihatmu setengah berlari menghampiriku. Dengan napas tersengal kau berkata, “Maaf membuatmu menunggu. Macet”.

Selalu seperti itu. Selalu ucapan yang sama. Dan aku selalu memakluminya, dengan senyum dan tanpa kata.

Sudah saatnya bertemu denganmu. Dari dalam kafe aku berpindah ke bangku di pinggir jalan. Kukeluarkan sebuah buku guna membunuh waktu. Kutengok sekali lagi arlojiku. Lalu, kuedarkan pandanganku ke kanan dan kiri.

Dari kejauhan aku melihatmu setengah berlari menghampiriku. Dengan napas tersengal kau berkata, “Maaf membuatmu menunggu. Macet”.

“Selalu alasan yang sama”

Kau memberikan ekspresi menyesal, memohon maaf.

“Oh, sudahlah. Kita, kan, bukan baru mengenal tadi pagi”.

Kita berjalan bersisian menuju lokasi konser di ujung blok. Kita mengantri sambil berbincang tentang hari ini. Tentang betapa menyebalkannya editorku dan tentang bahagianya kau bertemu dengan teman sekolahmu di tempat yang tidak terduga.

Sekarang kita berada di area panggung. Aku memaksa untuk bergerak maju hingga sedekat mungkin dengan panggung. Kau memimpin jalan kita. Aku perpegangan pada sikumu agar tidak terpisah. Jantungku kembali berdebar. Tapi, kali ini aku tahu kenapa.

Kita membicarakan tentang tata panggung, tata cahaya dan tata suara bagai dua orang ahli musik. Pembicaraan kita serius sebelum akhirnya tawa di antara kita pecah, menyadari betapa sombongnya nada bicara kita. Akhirnya band yang kita nantikan, band favorit kita, mulai menghentak panggung. Kita menyanyi, menari, melompat, dan meneriakkan “woohoo” berulang kali. Terlalu bersemangat. Bagaimana tidak, malam ini, konser ini, band ini adalah hal yang selalu kita impikan bersama.

Konser berakhir. Kau menggenggam tanganku, meninggalkan area konser. Jantungku berdebar tidak karuan. Kali ini, aku merasa ini salah. Debar jantung ini tidak seharusnya ada. Kita berjalan menuju mobilmu. Kau memarkirnya dua blok dari kafe. Kau selalu berkata, parkiran di area konser tidak masuk akal, sehingga kau lebih memilih untuk memarkir mobilmu jauh dari lokasi. Kita berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil lagu-lagu yang dibawakan. Masih terlalu bersemangat tentang konser tadi.

Sampai di mobil, kau membukakan pintu. Lalu, melajukan mobil menuju rumahku. Kita sampai di halaman rumahku, aku belum berniat meninggalkan mobil dan kau belum ingin membiarkanku meninggalkan mobil. Kita masih berbincang. Tentang konser. Kutengok jam di dasbor mobilmu. Sudah jauh melewati tengah malam. Sudah saatnya aku masuk. Kita berpelukan. Sebuah pelukan kasual, seperti biasa. Pelukan kasual yang diikuti “terima kasih”, “selamat malam”, “hati-hati di jalan”, dan “sampai jumpa besok”.

Mobilmu menjauh.

Jantungku masih berdebar.
Debar yang seharusnya tidak boleh kurasakan.

“Aaaaaaaaaaakkkkkk”. Sebuah teriakan membuyarkan lamunanku. Seorang wanita berteriak bahagia, sepertinya mendapatkan kejutan dari kekasihnya. Kutengok arlojiku. 30 menit lebih dari waktu janjian. Ini tidak biasa. Kurogoh tas, mengambil ponsel. Sebuah pesan singkat baru. Darimu. Satu jam yang lalu.

              Aku terjebak macet, ada kecelakaan. Masih terlalu jauh dari lokasi konser.
              Sepertinya aku tidak akan sampai sebelum konser berakhir.
              Jangan menungguku. Pergilah sendiri. Maafkan aku.
              Kita berjumpa besok ya.

Aku menghela nafas berat, bersandar pada punggung kursi. Kecewa. Kumasukkan buku dan ponsel ke dalam tas. Kuhampiri wanita yang mendapat kejutan dari kekasihnya tadi. Kuberikan tiket konser kita pada mereka. Secara cuma-cuma. Kuambil ponselku sekali lagi.

              Maaf aku lupa mengabarimu. Aku masih di kantor.
              Berkutat dengan artikel dan deadline.
              Aku tidak akan datang juga sepertinya.
              Sampai jumpa besok.

Kutinggalkan tempat ini. Dan menghapus segala khayalan tentang malam yang tidak pernah kita miliki. Selamat malam. Hati-hati di jalan, Hati.


P.S. Fiksi ini disadur dari sebuah cerita cinta di Le Love.


LA.