Dua Warna
Hari ini pasti aku kembali dan membereskan semuanya, tanpa terkecuali. Tapi saat ini aku harus pergi, sebentar saja. Meski aku tak tahu pasti sampai berapa lama.
Sketsa itu kembali kamu arsir lagi, garis demi garis yang bersinggungan satu demi satu. Ada yang berbeda pada gambarmu kali ini. Kamu melukisnya dengan jiwa. Pada setiap simbol yang kamu mainkan. Dalam tujuh naungan inti 7 draft sketsa yang kamu arsir bergantian. Tentang kebanggaan, kemarahan, kemalasan, nafsu, dengki, kerakusan dan juga keserakahan. Tentu saja seharusnya aku tidak kaget. Kamu kehilangan sebelah hatimu dalam tangkupan 7 dosa terbesar. Mungkin dengan meluapkan kemarahan kamu bisa mengingat jiwa kekasihmu yang bercampur melankoli. Dendam pada sesuatu mungkin memudahkan kita membuang apa yang ada dalam jiwa dengan lebih ringan. Tapi mendendam pada lingkungan yang katanya telah diciptakan untuk kepentingan manusia adalah apa yang jauh dikatakan dengan mudah. Jiwanya lelah seiring goresan sketsa yang mau selesai.
Benar apa kata hati, bahwa waktu belum tentu bisa membersihkan apa yang ada dalam bejana luka. Seiring goresan kepulangan yang sia-sia ada banyak hal yang luput dari ingatan. Yaitu keikhlasan. Pada dunia yang hitam putih kamu mengiring semua arsiran tebal dan tipisnya kebenaran. Tidak ada yang abu-abu. Warna cuma ada dua yaitu hitam dan putih. Dan seharusnya ia segera menyelesaikan sketsa itu untuk diletakkan pada muka jendela sehingga semua bisa mengintip dengan jelas.
Pada noda yang mengantarkan puan keharibaan. Dengan segala putih dan kebenaran yang adil. Tuhan mempertontonkan kuasanya atas nasib. Pada tali tiang yang menggantung. Ia hadir, menjemput sang pujaan.
'Kamu bilang kamu datang, kenapa tidak mampir?' Hanya muncul dalam lembar utama harian ibukota: seorang politisi mati diperkosa, saat hari penetapan pengumuman badan anggota legislatif negara